AntaraAku dan Nenek Pakande. Nenek Pakande adalah salah satu urban legend yang sangat dikenal oleh masyarakkat yang ada di desa Pattongko, Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. Sebenarnya Nenek Pakande mempunyai banyak versi cerita di Sulawesi Selatan. Tapi masih mempunyai ciri yang sama yaitu seorang nenek
Ceritarakyat Sulawesi Selatan dari Kabupaten Wajo - La Kuttu-kuttu Paddaga. Beberapa waktu yang lalu cerita rakyat sulawesi selatan putri tandampalik dan cerita rakyat nenek pakande telah dipublika
Search Asal Susuk. Karena berkat rahmat dan limpahannya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "ASAL USUL NENEK MOYANG BANGSA INDONESIA" Tujuan saya menyusun Makna Nazarenes kemungkinan bentuk terbaik dan terluas dari sebuah pergerakan (Jasmani), sedangan Ebionite lebih mengacu ke bentuk : Jalan, kependetaan,dll (ruhani) Menjadi bahan diskusi yang cukup hangat dan membingungkan
Melaluiartikel The Jombang Taste kali ini kita akan mengambil hikmah cerita rakyat dari Sulawesi Utara. Di negeri antah berantah hidup seorang hakim yang sangat bijaksana dan amat dihormati orang karena kejujuran, Lanjutkan membaca Kisah Hakim yang Bijaksana, Sebuah Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan
Inilahsebuah fragmen yang berjudul Nenek Pakande dan Lato' Pakande. Sebuah kisah yang diadaptasi dengan pengubahan seperlunya dari sebuah cerita rakyat Daerah Wajo, Sulawesi Selatan yang berjudul asli Nenek Pakande. Para pemain : Wafiq : Sebagai Ibu Tiri. Muflih Mahmud : Sebagai Lato' Pakande. Asna Rahayu : Sebagai Nenek Pakande
Folklormakassar 'tuappaka sisarikbattang' adalah sebuah cerita terkenal di. Nenek pakande ~ cerita rakyat sulawesi selatan | dongeng. Legenda ular ndaung | dongeng anak bahasa indonesia | cerita rakyat dan dongeng . Cerita Dongeng Pendek Untuk Anak Sd Dengan Pesan Moral from fabel tokohnya 3 orang. Nama anak
.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Diminta untuk menuliskan cerita rakyat, saya akhirnya flashback ke masa kecil. Masa dimana saya dan adik-adik saya menjadi anak penurut karena berbagai cerita rakyat yang kami dengar di rumah. Ya, ayah saya suka bercerita karena menurutnya bercerita adalah salah satu jalan agar kami cepat bisa membaca. Sering ada buku yang dipegang beliau, tapi kebanyakan diceritakan langsung sambil rebahan karena kami memang menuju tidur. Saya masih ingat betul juga ketika mama harus keluar kota beberapa hari, cuma ayah yang mengurusi kami. Saat itu masih bertiga karena adik keempat masih belum lahir. Pasca dia lahir, kebiasaan seperti ini sudah tidak dilakukan karena harus pindah rumah. Dan saya diambil sama nenek untuk diasuh dan disekolahkan. Lanjut ke Nenek Pakande... Nenek Pakande kalau diartikan adalah "seorang nenek yang suka makan daging manusia". Nah, kebetulan dalam ceritanya ini, Nenek Pakande sukanya sama anak-anak saja. Kehadirannya kemudian menjadikan masyarakat desa tempat kedatangannya merasa terancam karena anak-anak selalu jadi incaran. Cerita rakyat ini populer di daerah Sulawesi Selatan. Saya berasal dari salah satu kabupatennya yang bernama, Maros. Sebuah kota yang tidak jauh dari ibu kota Makassar dan sangat dekat dengan bandar udara Sultan Hasanuddin. Konon ada anak yang berhasil dibawa Nenek Pakande dan belum pernah dipulangkan. Ya, dimakan begitu menurut ceritanya. Sejak saat itu, semua orang tua menjaga anaknya dengan Cerita Rakyat Nenek Pakande Setelah beranjak usia SMP, saya kemudian menelisik cerita rakyat Nenek Pakande ini. Ternyata memang benar kalau cerita rakyat itu sarat makna dan tujuan agar yang membaca atau mendengar kisahnya menjadi berpikir dengan bijaksana. Nah, menurut saya pribadi cerita Nenek Pakande ini menarik karenaMengajarkan anak-anak untuk masuk ke dalam rumah, apalagi jika petang sudah tiba. Tidak baik keluyuran kesana-kemari. Apalagi bagi yang beragama Islam, masuk waktu petang artinya ada ibadah salat Maghrib yang harus manut dengan orang tua, yang penting dalam hal kebaikan. Jangan sampai menurut jika diajak untuk berbuat salah. Orang tua bisa lebih memperhatikan anak-anak mereka dan mengajaknya untuk memahami bahwa jika sudah menjelang malam, sudah saatnya untuk masuk ke dalam rumah, belajar dan pastinya bersantai dengan keluarga. Tidak keluar rumah di malam hari jika tak ada urusan penting dan mendesakNah, sejak memahami hikmah cerita rakyat Nenek Pakande, sampai sekarang saya masih suka was-was jika keluar rumah pasca waktu Maghrib, apalagi kalau harus membawa anak-anak. Bukan takut ada Nenek Pakande tapi lebih kepada anak-anak jadi terbiasa menjadikan malam untuk bermain yang seharusnya adalah istirahat. 1 2 Lihat Sosbud Selengkapnya
Sore itu para warga berkumpul kembali di depan rumah labeddu mereka telah membawa beberapa barang yang diminta oleh labeddu seperti seember belut, garu, batu, dan kulit rebung. Ternyata labeddu memerlukan hal tersebut untuk membuat jebakan agar bisa menangkap nenek Pakande. Malam harinya rencana pun mulai dilaksanakan. Seluruh desa gelap gulita, semua lampu rumah dimatikan kecuali rumah milik labeddu, hanya rumahnya yang bercahaya sehingga terlihat mencolok. Nenek Pakande pun terpancing dengan jebakan tersebut. Dia mendatangi rumah Labeddu dan melihat ada seorang monster yang sangat kuat dan rupanya itu adalah Labeddu. Baca Juga Kisah Legenda Joko Kendil, Cerita Rakyat dari Jawa Tengah yang Hidup Luntang Lantung Merasa ketakutan, nenek Pakande kemudian berlari dan terpeleset oleh belut yang dikumpulkan warga. Kepalanya pun ikut terbentur oleh batu. Sayangnya, warga tak bisa menangkap nenek Pakande karena kekuatan sihirnya yang sangat sakit. Meski demikian, Labeddu meminta warga untuk membiarkannya karena ia telah terluka parah. Keesokan paginya, anak-anak yang diculik nenek Pakande akhirnya bisa kabur dari tempat persembunyiannya. Hingga akhirnya warga Soppeng kala itu sangat berbahagia dan nenek Pakande pun sudah tak pernah datang lagi. Baca Juga Kamu Harus Tahu, Ini Dia Nama Raja dalam Kartu Remi, Ada yang Mati Karena Demam
Cerita Rakyat Sulawesi Selatan – Nenek Pakande Cerita Rakyat – Alkisah di suatu daerah di Soppeng sebuah Kabupaten di Sulawesi Selatan, terdapatsuatu desa dengan rakyatnya sangat bersahabat, senantiasa hidup tentram, damai, dan sejahtera. Hampir atau bahkan seluruh masyarakat yang tinggal di daerah itu bermata pencaharian sebagai seorang petani. Setiap hari mereka berbondong-bondong ke sawah untuk bertani di lahan mereka masing-masing. Pada suatu ketika, desa yang terkenal tentram tersebut terusik oleh seorang nenek tua yang rambutnya berwarna putihmemakai konde di kepalanya, wajah yang keriput, dengan badan yang setengah membungkuk, lalu memakai sarung batik dan kemeja. Sekilas terlihat nenek itu hanyalah seorang nenek tua yang biasa-biasa saja yang sedang mencari tempat tinggal. Tapi siapa yang menyangka bahwa nenek tua itu adalah seorang siluman yang suka memangsa daging manusia terlebihnya daging anak-anak. Dengan karakternya yang dikenal seperti itu, maka warga setempat pun menamai nenek itu dengan sebutan Nenek Pakande diambil dari bahasa Bugis yaitu kata manre yang berarti makan. Biasanya Nenek Pakande itu berkeliaran keliling kampung untuk mencari mangsa pada hari ketika sang fajar sudah mulai tenggelam. Suatu sore saat hari sudah mulai gelap, ada sepasang saudara kakak beradik yang tengah seru bermain di sekitar halaman rumah mereka. “Nak, ayo cepat masuk ke rumah ini sudah malam!” Seru ibunya dari balik pintu. Akan tetapi kedua bersaudara itu sedikit pun tak menghiraukan apa yang diperintahkan oleh ibunya dan kemudian kembali lagi bermain. Mereka hanya memanggap perintah ibunya hanyalah angin yang berhembus begitu saja. Tidak lama kemudian, ibu dari kedua anak itu pun sejenak menghampiri kedua anaknya dan menyuruhnya masuk, tetapi kedua anak itu tetap saja membandel. Dan ibu itu pun kembali masuk ke rumahnya dan membiarkan anak-anaknya bermain. Tanpa ibu itu menyadari bahwa anaknya sedang dipantau dari jarak jauh oleh Nenek Pakande. Melihat suasana yang sangat sunyi, tak ada seorang pun yang berlalu-lalang di sekitar tempat itu, Nenek Pakande mempergunakan waktu itu untuk menculik kedua anak tersebut lalu dijadikannya mangsa. Berselang waktu kemudian, ibu dua orang anak tersebut keluar dan didapatinya kedua anaknya sudah tak ada di tempatnya lagi. Lalu ia mencari ke seluruh penjuru rumahnya tetapi ia tak menemukan anaknya sekali pun. Ia pun bergegas keluar rumah sambil teriak minta tolong. Baca juga Cerita Rakyat Sulawesi Selatan – La Dana Dan Kerbaunya “Tolong…..tolong…..tolong….. Anakku hilang!” dengan suara yang tersedu-sedu sambil menangis. “Ada apa bu? Apa yang terjadi dengan anak ibu?” sapa salah satu warga setempat. Lalu ibu itu pun menceritakan apa-apa yang telah terjadi dengan anak-anaknya kepada bapak itu. Kemudian bapak itu segera memanggil warga untuk membantunya mencari. Lambat laung pun warga sudah terkumpul banyak, siap untuk melakukan pencarian menelusuri kampung-kampung dengan alat penerangan seadanya. Hingga larut malam pun tiba, kedua anak tersebut tak kunjung jua ditemukan. Akhirnya kepala kampung yang memimpin pencarian tersebut meminta pencarian itu dihentikan sementara. Keesokan harinya saat pencarian akan dilakukan kembali, tiba-tiba ada laporan dari seorang warga yang kehilangan bayinya, ketika saat itu orang tua bayi tersebut sedang tertidur nyenyak. Warga setempat pun semakin resah dengan kejadian yang saat ini menimpa desa mereka. Ketika malam tiba para orang tua tidak bisa menutup kedua kelopak matanya karena dihantui rasa cemas. Mereka harus memantau anak-anak mereka serta menjaganya hingga pagi menjemput. Saat para warga berkumpul di suatu titik di desa mereka, mereka menceritakan setiap kekhawatiran yang mereka alami saat malam hari tiba. Mereka bingung, siapa dalang di balik penculikan misterius ini. Seketika ada seorang warga yang mengusulkan untuk pergi ke rumah Nenek Pakande. Karena warga setempat tahu bahwa Nenek Pakande adalah seorang pemangsa anak-anak. “Kenapa kita hanya berdiam diri saja di sini, kenapa kita tidak langsung saja beramai-ramai ke rumah Nenek Pakande itu? Karena besar kemungkinan dia yang telah menculik anak-anak yang ada di desa kita.” “Hei, bukankah Nenek Pakande itu adalah seseorang yang sangat sakti, karena dia memiliki kekuatan gaib yang sulit untuk ditaklukkan.” Tentang salah seorang warga lainnya. “Ya benar juga, Nenek Pakande adalah seorang siluman yang sangat sakti, tak ada seorang manusia biasa pun yang bisa mengalahkan kesaktiannya. Setauku Nenek Pakande hanya takut kepada sosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Tetapi sekarang entah di mana raksasa itu berada. Kabar serta seluk beluk tubuhnya pun tak pernah lagi terdengar dan terlihat.” Jawabnya seorang warga lagi. Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale adalah sesosok raksasa yang tingginya diperkiran 7 hasta dengan badan yang sangat besar, dia juga suka memakan daging manusia. Akan tetapi dia adalah raksasa yang baik hati, hanya memakan manusia yang bersifat buruk dan manusia yang tidak disukainya. “Lantas apa yang harus kita perbuat sekarang untuk memusnahkan Nenek Pakande itu?” melanjutkan pertanyaan. Tak seorang pun dari mereka yang ingin angkat bicara, suasana saat itu tiba-tiba menjadi diam, penuh kecemasan dan kekhawatiran, dan mereka kebingungan tentang masalah itu. Di tengah-tengah kecemasan tersebut, seorang pemuda yang berdiri di tengah-tengah sekumpulan warga pun angkat bicara. Pemuda tersebut bernama La Beddu, dia adalah pemuda yang cerdik, pandai, lagi berani. Dia dikenal warga sebagai pemuda yang ramah, taat beribadah, dan suka membantu orang yang sedang tertimpa masalah. “Maaf para warga-warga desa jika saya lancang, tapi saya punya suatu cara untuk mengenyahkan Nenek Pakande dari desa kita.” Suasana pun menjadi hening seketika. Timbullah ribuan harapan yang tertimbun di dalam diri setiap warga, tapi tidak sedikit pula warga yang memandangnya sebelah mata dengan pandangan yang merendahkan, karena mereka tidak yakin bahwa La Beddu bisa mengalahkan Nenek Pakande. “Hai La Beddu, apa kuasamu? Kamu hanyalah pemuda biasa yang tidak memiliki kesaktian sedikit pun, dibandingkan dengan Nenek Pakande yang kesaktiannya sangat kuat.” Jawab seorang warga selaku merendahkan. La Beddu kemudian diam dan tersenyum dan melanjutkan pembicaraan dengan nada yang tenang. “Tidak selamanya kesaktian harus dilawan dengan kesaktian pula. Kita sebagai manusia diberi akal untuk berfikir.” Jelas La Beddu. “Apa sekiranya maksudmu itu La Beddu? Apakah kamu tak takut sedikit pun dengan Nenek Pakande?” Tanya warga tersebut sekali lagi. “Maksud saya, kita bisa melawan Nenek Pakande tidak harus ketika kita memiliki kesaktian yang kuat. Kita bisa melawannya dengan akal cerdik kita. Jika kita saling bahu membahu melawannya, yakinlah bahwa kita bisa mengenyahkannya. Maka dari itu siapkan saya beberapa ekor belut dan kura-kura, salaga garu, busa sabun satu ember, kulit rebung yang sudah kering, dan sebuah batu besar. Dan setelah itu kumpulkanlah semua hewan dan benda-benda itu di rumah saya.” Seru La Beddu. “Untuk apa hewan beserta benda-benda tersebut La Beddu?” Tanya warga lainnya. “Nantilah kalian mengetahuinya setelah apa yang ku perintahkan telah terkumpul semua di rumahku.” Jawab La Beddu. Seketika pun warga membubarkan diri mereka masing-masing dan segera mencari apa yang diperintahkan oleh La Beddu. Ada yang mencari belut di sawah-sawah, kura-kura di sungai, dan yang lainnya sibuk membuat salaga dan menyiapkan busa sabun satu ember. Setelah semuanya terkumpul, barulah mereka menuju ke rumah La Beddu dan mengumpulkan semua apa yang telah diperintahkannya. “Hai La Beddu, sekarang jelaskan kepada kami apa guna barang yang telah engkau suruhkan kepada kami!” seru seorang warga. La Beddu pun kemudian menjelaskan apa guna dari barang-barang tersebut. Selaga akan dia jadikan menyerupai sisir dan kura-kura sebagai kutu raksasa. Busa sabun ia akan jadikan menyerupai air liur, kulit rebung sebagai terompet atau pembesar suara agar menyerupai suara besar seorang raksasa. Adapun belut dan batu besar akan di tempatkan di depan pintu dan di bawah tangga. Itu semua aku perintahkan agar kita bisa mengelabui Nenek Pakande dengan menyamar sebagai raksasa. Pada siang hari, La Beddu beserta warga pun menyusun rencana untuk mengelabui Nenek Pakande. Dua orang utusan warga diperintahkan untuk menaruh belut dan batu besar di depan pintu dan di bawah tangga kemudian bersembunyi di bawah rumah panggung. Setelah matahari sudah mulai tak nampak lagi dan hari sudah mulai gelap, para warga mengunci rapat-rapat pintu mereka dan memadamkan lampu pelita mereka. Ini adalah sebagian dari rencana La Beddu karena ada sebuah rumah yang terletak paling ujung di perkampungan mereka yang dinamakan Balla Raja, rumah itu adalah rumah panggung yang sangat besar. Di rumah itu diberikan cahaya lampu yang paling terang agar Nenek Pakande tersebut terpancing dan menuju ke rumah itu. Salah satu umpan yang lain adalah di taruhnya anak bayi di dalam suatu kamar tetapi dalam pengawasan ketat warga setempat. Sementara La Beddu bersembunyi di atas genteng. Malam itu adalah malam Jum’at, di mana sinar rembulan sangat terang. Saat Nenek Pakande sudah mulai berkeliaran, dia heran mengapa semua lampu tak ada satu pun yang menyala keculai rumah yang bernama Balla Raja. Nenek Pakande pun menghampiri rumah tersebut. Beberapa saat kemudian setelah Nenek Pakande tiba di depan pintu yang sangat besar dia mencium aroma seorang bayi dari dalam rumah tersebut. Tanpa berpikir panjang, Nenek Pakande pun masuk ke dalam rumah tersebut. Tanpa sepengetahuan Nenek Pakande, 2 orang pemuda tersebut melaksanakan tugasnya dan kembali bersembunyi. Ketika dia berhadapan dengan pintu kamar yang sangat tinggi dan besar, Nenek pakande pun semakin merasakan aroma bayi tersebut. Seketika muncullah suara misterius yang menyapa Nenek Pakande. “Hei Nenek Pakande, apa gerangan yang membuat engkau datang ke mari?” Tanya La Beddu yang menyamar sebagai raksasa besar Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. “Saya ingin mengambil bayi yang ada dibalik pintu besar itu. Siapa kamu?” jawab Nenek Pakande. “Saya Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale, dan saya ingin kamu pergi dari desa ini sejauh mungkin karena sudah meresahkan warga setempat.” Ujar sang raksasa. “Ahh, saya tidak percaya jikalau kamu ada raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.” Jawab Nenek Pakande dengan menambah beberapa langkah kakinya selaku mengacuhkan. La Beddu pun menumpahkan seember busa sabun yang dipakainya untuk mengelabuhi Nenek Pakande sebagai air liur raksasa. Lalu memperdengarkan suara mengaumnya. “Aku lapar Nenek Pakande, lihatlah air liurku sudah mengalir. Jika kau tak segera enyah dari hadapanku, maka kau akan menjadi santapanku.” Dengan dihantui rasa cemas, Nenek Pakande pun berkata lagi, “Hihihi, saya tidak percaya denganmu, pasti kamu hanyalah orang biasa yang menyamar sebagai Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.” La Beddu pun menjatuhkan selaga yang dibuatnya menyerupai sisir yang besar dan kura-kura secara beruntung. “Ah.. Kutu ini banyak menggangguku dan membuat kepalaku gatal saja.” Kata Sang Pemuda yang mengaum. “ Nenek Pakande, kau jangan membuatku jadi lebih marah lagi.” Lanjut La Beddu. Melihat kura-kura dan selaga yang jatuh ke lantai, membuat nyali Nenek Pakande akhirnya ciut juga. Tanpa menunggu lama, Nenek pakande pun lari menuju pintu keluar. Tanpa dilihatnya, dia menginjak seekor belut dan terpeleset jatuh hingga anak tangga yang paling akhir dan kepalanya terbentur pada batu besar yang telah disiapkan. Tetapi Nenek Pakande tetap memaksakan diri untuk bangkit kembali. Dengan kesaktiannya, Nenek Pakande pun terbang ke bulan. Dan sebelum terbang ke bulan, Nenek Pakande meninggalkan suatu pesan “Saya akan memantau anak kalian dari atas sana dengan cahaya rembulan di malam yang sangat gelap. Dan suatu saat nanti saya akan kembali memangsa anak-anak kalian.” Maka dari itu, orang tua sekarang banyak yang menasehati anaknya jangan keluar jika sudah malam, nanti kalian di makan Nenek Pakande. Cerita Rakyat Sulawesi Selatan – Nenek Pakande
Berikut ini, tabbbayun akan menceritakan sebuat kisah yang berjudul yang cerita inspiratif tentang Nenek Pakande yang singkat. Dimana cerita ini cocok menemani anak-anak sebelum kala, di sebuah desa di Sulawesi Selatan, hiduplah seorang nenek tua yang dikenal sebagai Nenek Pakande. Nenek Pakande merupakan cerita rakyat yang terkenal di kalangan suku Bugis. Namun, dalam cerita rakyat Bugis ini, Nenek Pakande digambarkan sebagai sosok yang suka memakan atau memangsa Pakande, yang namanya berasal dari kata “manre'” yang berarti “makan”, digambarkan sebagai “si tukang makan”. Cerita rakyat Nenek Pakande memiliki berbagai versi, dan berikut ini adalah salah satu versi yang dilansir dari buku “Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan”.Kisah Nenek Pakande dimulai dengan dua anak laki-laki bersaudara yang tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Anak sulung berusia 5 tahun dan adiknya berusia 2 tahun. Ayah mereka bekerja sebagai petani, sehingga ketika pergi ke kebun, kedua anak itu tinggal bersama ibu ibu tirinya memiliki sifat jahat dan tidak menyukai kedua anak tersebut. Mereka sering kali tidak diberi makan sepanjang hari. Ketika ayah mereka pulang, baru ibu tirinya membawa kedua anak itu ke dapur dan melumuri muka mereka dengan nasi. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kepada ayah mereka bahwa kedua anak tersebut hanya bermain dan makan sepanjang hari, kedua anak ini mengalami hal yang sama. Suatu hari, saat mereka sedang bermain bola di depan rumah mereka, bola yang mereka mainkan tanpa sengaja masuk ke dalam rumah dan mengenai seorang tamu. Ibu tirinya menjadi sangat marah dan berniat untuk membunuh kedua anak tersebut dan memakan hati ayah pulang, ibu tirinya membujuk suaminya untuk turut membunuh anak-anak. Ia mengatakan bahwa kedua anak itu semakin nakal dan jahat. Ayah mereka terpengaruh dan menarik kedua anak itu untuk itu disaksikan oleh tetangga mereka. Salah satu tetangga kemudian mendekati mereka dan meminta agar mereka tidak membunuh anak-anak mereka sendiri di dalam rumah. Tetangga tersebut menawarkan diri untuk membawa anak-anak itu ke hutan dan membunuh mereka. Ia mengatakan bahwa nanti ia akan membawa pulang hati mereka untuk suami istri mereka melepaskan kedua anak itu agar dibawa ke hutan. Sesampainya di tengah hutan, tetangga tersebut merasa iba pada kedua anak tersebut. Ia meminta anak-anak itu untuk pergi dan tidak pernah kembali lagi ke rumah tersebut. Setelah itu, tetangga itu mengambil hati binatang sebagai anak laki-laki itu terus berjalan hingga melewati tujuh bukit dan tujuh gunung. Tak lama kemudian, mereka menemukan sebuah rumah tua di tengah hutan. Mereka memutuskan untuk singgah di sana dan meminta masuk ke dalam rumah yang ternyata tidak memiliki pintu. Di dalam rumah itu, mereka melihat tulang belulang yang berserakan di lantai dan di atas meja. Meskipun mereka merasa takut, rasa lapar yang begitu kuat membuat mereka mencari pemilik rumah. Namun, mereka tidak menemukan siapa pun di dalam rumah lalu pergi ke dapur dan menemukan berbagai makanan yang tersimpan di sana. Dalam keadaan lapar yang sangat, mereka memberanikan diri untuk mengambil makanan dan menyantapnya dengan malam menjelang, tiba-tiba terdengar suara menggelegar seperti guntur. Kedua anak itu kaget dan ketakutan.“Hmm… ada yang berbau manusia!” suara itu saat itu mereka menyadari bahwa rumah itu adalah rumah Nenek Pakande, sosok perempuan tua yang pemakan Pakande naik ke atas rumah dan bertanya kepada kedua anak tersebut, “Siapakah kalian, cucu-cucu?”Mereka menjawab, “Kami adalah anak yang tidak memiliki ibu. Ayah kami sudah menikah lagi, dan ibu tirinya tidak menyukai kami. Kami terpaksa membuang diri, dan kami sampai di rumah ini.”Nenek Pakande berkata, “Baiklah, tinggallah kalian di sini, cucu-cucu. Jaga rumah ini, karena aku sering bepergian.”Nenek Pakande kemudian bertanya, “Sudahkah kalian makan?”Anak-anak itu menjawab, “Sudah, nenek!”Nenek Pakande berkata lagi, “Makanlah banyak supaya cepat besar!”Kedua anak itu mulai merasa tenang dan mempercayai kata-kata Nenek Pakande. Nenek Pakande terus bertanya, “Bagaimana ukuran hatimu, cucu?”Mereka menjawab, “Masih sebesar biji beras, nenek.”Nenek Pakande berkata, “Makanlah, makanlah supaya cepat besar!”Dialog seperti itu terjadi setiap hari. Kedua anak itu tinggal di rumah tersebut bersama dengan Nenek demi hari berlalu, kedua anak tersebut tinggal di rumah Nenek Pakande. Mereka terus makan dan bertambah besar. Setiap kali Nenek Pakande pulang dari perjalanannya, dia senang melihat perkembangan kedua anak dalam hati kedua anak itu, mereka merasa ada yang tidak beres. Mereka masih ingat kejahatan ibu tirinya yang ingin membunuh mereka. Mereka merasa waspada terhadap Nenek Pakande, meskipun dia telah memberi mereka tempat tinggal dan hari, saat Nenek Pakande pergi berpergian lagi, kedua anak itu mengintip ke dalam kamar Nenek Pakande yang terkunci rapat. Mereka memutuskan untuk membuka pintunya dengan hati-hati. Saat pintu terbuka, mereka melihat sesuatu yang dalam kamar itu, terdapat sebuah ruangan bawah tanah yang gelap dan penuh dengan tulang-tulang manusia. Mereka kaget dan terkejut. Akhirnya, mereka menyadari kebenaran tentang Nenek Pakande. Dia benar-benar seorang pemangsa anak itu sangat takut dan merasa terancam. Mereka merencanakan pelarian dari rumah itu, karena mereka takut Nenek Pakande akan kembali dan melakukan kejahatannya pada malam hari, ketika Nenek Pakande masih belum pulang, mereka memutuskan untuk kabur. Mereka merangkak keluar dari rumah dan berlari secepat mungkin menjauh dari tempat itu. Hatinya penuh dengan ketakutan, namun juga dengan harapan anak itu terus berlari dan bersembunyi di hutan selama beberapa hari. Mereka bertahan dengan apa yang bisa mereka temukan di alam liar. Tapi mereka tidak kehilangan harapan untuk menemukan tempat yang hari, mereka bertemu dengan seorang kakek yang baik hati. Kakek itu mengasihani nasib kedua anak itu dan mengajak mereka pulang ke rumahnya. Kakek itu adalah seorang petani yang tinggal sendirian dan tidak memiliki cucu. Dia merawat kedua anak itu seperti cucunya anak itu akhirnya menemukan kehidupan baru yang penuh kasih sayang. Mereka diberi makanan yang cukup, tempat tidur yang nyaman, dan perhatian yang hangat. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang bahagia dan sehat di bawah perlindungan sang ingatan mereka, mereka selalu berterima kasih kepada tetangga yang telah menyelamatkan mereka dari takdir yang mengerikan. Mereka berjanji untuk hidup dengan penuh rasa syukur dan menciptakan dunia yang lebih baik di sekitar cerita singkat yang populer, cocok dibacakan untuk anak sebelum tidur berjudul cerita inspiratif tentang Nenek Pakande, lengkap dengan pesan moral dari cerita Nenek Pakande ini adalahKebaikan dan kejahatan dapat ditemukan dalam diri setiap individu. Terkadang, penampilan luar seseorang dapat menipu kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melihat lebih dalam dan tidak mudah terpengaruh oleh penampilan ini mengajarkan kepada kita bahwa kebaikan sejati datang dari hati yang tulus dan perbuatan yang baik. Meskipun kedua anak itu menghadapi perlakuan buruk dari ibu tirinya, mereka tetap mempertahankan kebaikan dan mencari tempat yang itu, cerita ini mengingatkan kita untuk tetap berhati-hati dalam mempercayai orang lain. Kedua anak itu mengalami ketakutan dan bahaya ketika mereka tidak waspada terhadap Nenek Pakande. Ini mengajarkan kepada kita pentingnya waspada dan kritis terhadap lingkungan sekitar kita.
cerita rakyat sulawesi selatan nenek pakande